Sabtu, 20 November 2010

Rocker Muslim Ini Menyampaikan Dakwah Toleransi Melalui Hentakan Drum

Rocker Muslim Ini Menyampaikan Dakwah Toleransi Melalui Hentakan Drum
Tuesday, September 9th, 2008

Oleh Mary Kissel
15 Agustus 2006
Jakarta, Indonesia

"Mengapa saya memilih beat Arab? Karena Muslim pikir ia lagu Muslim. Itu bukan! Itu lagu universal."

Demikian jelas Dhani yang bergaya rambut-poni, berawajah imut, pendiri salah satu band rock ‘n’ roll paling populer di Indonesia, Dewa, pada suatu sore baru-baru ini di sini. Sambil meluncurkan sebuah lagu yang mengejutkan dari album terakhir grup itu, "Republik Cinta," Dhani menjelaskan bagaimana keyakinannya, tasawuf — suatu bentuk Islam mistik, toleran — mengilhami musiknya. Di balik penampilan-penampilannya, Dhani, yang seperti kebanyakan orang Indonesia hanya disebut dengan satu nama, adalah mahabintang rock yang sangat berbeda. Dia sedang mempromosikan Islam moderat — secara vokal — di sebuah negeri sangat penting dalam perang melawan teror.

Merebah ke sandaran kursi minivannya saat Dhani melepas lelah begitu saja, saya berusaha menuliskan kata-katanya dengan cepat, bersusah payah mendengarkan saat hentakan bass membentur kursi. "Wahai jiwa yang tenang!" ("O serene soul!"), menyentak pembukaan riff dari lagu pertama, "Laskar Cinta," dengan sebuah hentakan hiruk-pikuk drum mengiringinya. Judul lagu itu di Indonesia, "Laskar Cinta," merupakan sebuah permainan pada "Laskar Jihad" ("Warriors of Holy War"), kelompok teroris yang terkait dengan al-Qaeda, tumbuh di Indonesia. Tapi lagu itu tidak jauh berbeda dari apa yang mereka dakwahkan; Dhani menyanyikan kebebasan religius, menjalin rujukan ayat-ayat al-Qurani yang bisa dengan mudah dikenali oleh para pendengar utama Dhani di Indonesia, negeri Muslim terbesar dunia, dan tetangga Malaysia.

Itu merupakan strategi yang disadari sepenuhnya; orang yang sinis bahkan bisa salah paham dan menilainya sebagai permainan pasar. Dhani menjelaskan bahwa dia menyajikan pesan toleransi dan damai di samping hentakan musik rock Barat, kuat dan berjingkrak, diselang-seling dengan ritme Arab. Tipe-tipe Barat-minded dan bahkan Muslim yang sudah mengalami radikalisasi membeli albumnya — dan, satu harapan, visi tolerannya, juga. Sejauh ini, cukup bagus: Album baru grup itu terjual satu juta kopi di pasar legal di Indonesia saja; perkiraan versi bajakannya terjual tiga atau empat kali jumlah aslinya. Lagu single album tersebut baru-baru ini menempati tangga no.1 di Indonesia selama tiga minggu, berlangsung sejak akhir Desember hingga Januari, dan videonya bertengger di puncak tangga sepuluh terbaik MTV. EMI berencana segera merilis versi berbahasa-Inggris musik Dewa ke pasar-pasar asing.

Itu sangat cerdas, dan sangat tepat; memang, beberapa track Dewa bisa dengan mudah disalahpahami berasal dari sebuah band pop Saudi Arabia — yang salah seorang anggotanya telah mendengarkan Queen dan rock klasik saat kanak-kanak. Tapi ketika syair terakhir "Laskar Cinta" memenuhi mobil itu, ia menggemakan ayat suci ini: "Wahai umat manusia! Kami ciptakan kamu dari satu jiwa, laki-laki dan wanita, dan membuatmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu bisa saling mengenal, dan tidak saling bermusuhan." Sebaris yang lebih mengesankan dibandingkan "Bohemian Rhapsody," dan dengan pasti bukan apa yang kelompok garis keras ajarkan kepada Dhani di sekolah mereka.

Dhani, 34, mungkin merupakan seorang yang menggoda orang lain demi perdamaian. Kakeknya telah berpartisipasi dalam gerakan gerilya Darul Islam, yang di antara anggotanya termasuk di antara pemimpin kelompok teroris yang merencanakan bom-bom Bali beberapa tahun yang lalu. Ayah Dhani, Eddy mengikuti jejak langkah kakeknya, terhitung menonjol dalam sebuah organisasi yang tunduk pada dakwah ajaran Wahhabi. Ibu Dhani kelahiran-Indonesia, Joyce, terbukti seorang yang mempengaruhi lebih moderat — dia seorang Katolik Roma yang masuk Islam ketika menikah. (Tapi "dia belajar Islam dariku, bukan dari ayahku," ucap Dhani dengan tenang.)

Ketika kanak-anak, Dhani mengikuti sekolah Wahhabi. (Wahhabisme, sekte Muslim terkemuka di negara-negara Arab seperti Saudi Arabia, mempromosikan ketundukan kaku; Tasawuf secara historis adalah dominan di Indonesia, di kalangan Muslim). Tapi pesan Wahhabi tidak bertahan dengan Dhani: Dalam usia belasan, anak muda itu memberontak keluar dari sekolah menengah dan memulai Dewa, juga pernah disebut Dewa 19, sebuah rujukan pada perubahan personal ketika anggota band itu berusia 19 tahun. Nama itu, sebuah akronim nama-nama para pendiri, yang secara ironik bermakna "Tuhan" dalam bahasa Sanskerta. Lagu-lagu yang menyenangkan dari grup itu segera populer; sekarang di Indonesia, Dhani adalah mahabintang setara dengan Bon Jovi atau Bono.

Namun pesan Dhani secara rasional lebih kuat — dan lebih bermakna — dibandingkan pesan lagu-lagu para rocker Barat. Sejak jatuhnya rejim otokratis Suharto pada tahun 1998 dan terbitnya demokrasi, dukungan untuk partai-partai politik garis keras di Indonesia sudah tumbuh. Sementara kelompok-kelompok seperti itu sama sekali tidak didukung oleh mayoritas, kebanyakan Jawa yang moderat, peristiwa-peristiwa terbaru — seperti seruan publik untuk menetapkan syari’ah, atau hukum Islam, proses pengadilan editor Playboy edisi Indonesia, dan demonstrasi-demonstrasi anti-Wahhabi yang berbahaya — menunjukkan pertumbuhan pengaruh Wahhabi di kepulauan itu, seperti menjamurnya pemakaian jilbab oleh para wanita di ibukota Jakarta.

Dhani telah merespon tidak hanya melalui musiknya, tapi dengan mengikuti sebuah kelompok religius moderat kecil — tapi sedang tumbuh — yang sedang mencoba mendidik rakyat Indonesia tentang bentuk-bentuk Islam toleran. Diorganisasi oleh LibForAll, sebuah yayasan kecil AS. yang berkedudukan di Winston-Salem, N.C., para anggotanya termasuk mantan presiden Indonesia Presiden Abdurrahman Wahid, seorang pemimpin besar sufi; Abdul Munir Mulkhan, seorang mantan anggota pengurus Muhammadiyah yang terkemuka, salah satu organisasi Muslim terbesar di dunia; dan Azyumardi Azra, seorang intelektual Islam yang berani, di antara yang lain.

Ada banyak resiko bagi orang-orang religius moderat yang vokal seperti orang-orang yang berafiliasi dengan LibForAll. Tahun lalu, setelah Dewa merilis sebuah album yang menampilkan kata untuk "Allah" dalam tulisan Arab pada cover albumnya, Dhani telah dicap sebagai murtad. Khawatir atas keselamatan istrinya, Maia, dan ketiga anaknya, Dhani memindahkan mereka ke sebuah hotel. Hanya ketika Abdurrahman Wahid melakukan konferensi pers yang mendukung bintang rock itu bahwa Dhani merasa cukup aman untuk membawa pulang keluarganya.

Dhani tampak tidak gentar dengan misinya. Ketika saya bertanya tentang itu, dia tertawa, menuturkan keyakinannya (anak-anaknya dinamai dengan nama-nama para wali sufi), dan menghidupkan tape stereo mobilnya.

Saat kami merayap karena kemacetan lalu lintas, salah seorang rekan Dhani mengingatkan saya bahwa Dhani bukanlah yang pertama punya panggilan ini. Dalam sebuah jaringan historis yang sama, penyelamat dan penasehat Dhani, Gus Dur, adalah seorang keturunan langsung Syeikh Siti Jenar, seorang wali sufi abad ke-16 yang juga menyebarkan dakwah toleransi di hadapan kelompok militan di Jawa. Dia telah dieksekusi karena keyakinannya, dan legenda menuturkan bahwa darahnya menyembur menjadi tulisan "Allah adalah indah!" di pasir saat dia wafat. Belakangan dia dimuliakan sebagai wali Allah yang sebenarnya. Dalam catatan untuk albumnya yang terakhir, Dhani berterima kasih kepada Syekh Lemah Abang ("Syeikh Tanah Merah") — sebuah rujukan kepada kota tempat Siti Jenar pernah tinggal.

Dhani tertawa lagi ketika saya bertanya apakah cerita kematian Siti Jenar memang benar, dan apakah dia dibandingkan dengan wali. Dia mengangguk, dan tersenyum. Dan kemudian dia menghidupkan musik lagi.[]
Kissel adalah editor halaman editorial The Wall Street Journal Asia’.

URL untuk artikel ini:
http://online.wsj.com/article/SB11555956…al_journal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar